Meskipun dalam buku sejarah sangat jarang ditemukan biografi detail mengenainya, sosok alim Al-Azhar satu ini adalah tokoh yang masyhur pada masanya. Dari penulisan biografi yang sedikit itu, tak jarang antar satu buku dengan buku yang lain saling menukil. Dalam biografi yang ringkas itu pun masih terdapat banyak perbedaan antar para sejarawan. Menimbang betapa besarnya pengaruh beliau dalam sanad keilmuan Islam, penulis mencoba untuk menguraikannya pada tulisan kali ini.
Ia adalah sosok alim bernama Tsu’ailib bin Salim Al-Kabir Al-Maghribi Al-Fasyni Asy-Syafi’i Al-Azhari. Gelar Al-Kabir yang tersemat di belakang namanya termaktub di dalam kitab Nuzhah Al-Fikar dan Faidh Al-Malik Al-Wahhab Al-Muta’ali. Tidak terdapat di dalam dua kitab tersebut sebuah isyarat kenapa ia digelari demikian. Namun, dalam kitab biografi ulama Islam biasanya Al-Kabir (yang tua) dipakai sebagai pembeda antara dua atau lebih ulama yang sezaman dan memiliki nama yang sama dengan yang satunya lagi digelari Ash-Shaghir (yang muda).
Adapun gelar Al-Maghribi, merujuk kepada negeri Maghrib. Lalu Al-Fasyni merujuk kepada daerah Al-Fasyn, Markaz Al-Fasyn, Provinsi Al-Minya, Mesir. Dari dua nisbah negeri di atas, bisa jadi ia berasal dari keluarga Maghribi yang merantau ke Mesir lalu lahir di Al-Fasyn. Selain itu, ia juga bernisbah Asy-Syafii yang merujuk kepada mazhab fikih Imam Asy-Syafii yang ia anut. Sedangkan Al-Azhari, merujuk kepada Al-Azhar tempat ia menuntut ilmu.
Dalam Hilyah Al-Basyar disebutkan bahwa Syekh Tsu’ailib Al-Fasyni lahir pada tahun 1150 H. Namun yang tepat, ia lahir pada tahun 1151 H sebagaimana yang ditulis oleh tokoh yang semasa, yakni Syekh Murtadha Az-Zabidi dalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Mukhtash.
Masa Belajar
Masa pertumbuhan Tsu’ailib Al-Fasyni kecil tidak banyak diketahui, apakah ia tumbuh di desanya itu? Lalu apakah ia menghafal Al-Quran di sana, baru setelahnya pergi ke Al-Azhar sebagaimana ulama lain? Meski detail itu tidak diketahui, fase masa belajarnya di Al-Azhar banyak terekam dalam kitab Al-Mu’jam Al-Mukhtash. Di sana disebutkan bahwa ia belajar kepada para pembesar ulama Al-Azhar pada saat itu. Ia belajar kitab hadits Shahih dan Al-Mawahib Al-Ladunniyyah karya Syihabuddin Al-Qasthallani kepada Syekh Muhammad Al-Faramawi; Syarh Manhaj Ath-Thullab karya Zakariya Al-Anshari, Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj Syamsuddin Ar-Ramli, Al-Quthb ‘ala Asy-Syamsiyyah, Syarh As-Sanusi ‘ala Umm Al-Barahin, Syarh Az-Zurqani ‘ala Al-Baiquniyyah, Al-‘Isham ‘ala Al-Isti’arat, dan Matn As-Samarqandiyyah fi Al-Wadh’ kepada Syekh Ahmad Ar-Rasyidi; serta Al-Muwaththa dengan berbagai riwayatnya kepada Syekh At-Tawudi Ibnu Saudah.
Ia juga belajar kepada Syekhul-Azhar Muhammad Salim Al-Hifni, Syekh Syihabuddin Al-Mallawi, Syekh Syihabuddin Al-Jauhari, Syekh Muhammad Al-‘Asymawi, Syekh Mushthafa Al-‘Azizi, Syekh Al-Amir Al-Kabir, dan ulama besar lainnya.
Masa Mengajar
Setelah menyelesaikan fase belajarnya, Syekh Tsu’ailib Al-Fasyni mengajarkan sejumlah kitab. Di antara pengajian yang disebut dalam kitab-kitab sejarah adalah halakah kitab Shahih, Tafsir Al-Baidhawi, Al-Muwaththa, dan Al-Jami’ Ash-Shaghir. Beliau lebih banyak mengajarkan kitab-kitab hadits. Sampai-sampai dikatakan bahwa beliau adalah sosok yang senantiasa mengagungkan sunah Nabi.
Murid-muridnya pun banyak. Beberapa di antaranya menjadi orang besar seperti Syekhul-Azhar Muhammad Al-‘Arusi, Syekh Burhanuddin As-Saqqa, Syekh Muhammad bin Ali As-Sanusi, Syekh Wajihuddin Abdurrahman Al-Kuzbari, Syekh Muhammad Al-Warini, Syekh Ismail Asy-Syarnubi, Syekh Abu Al-Hasan Ad-Dimnati, Syekh Abdullathif Al-Bairuti, dan Syekh Ahmad Barghuts.
Beliau juga termasuk teman sejawat bagi ulama Al-Azhar pada masa itu, seperti Syekhul-Azhar Ahmad Ad-Damhuji, Syekhul-Azhar Hasan Al-Quwaisni, Syekh Al-Amir Ash-Shaghir, dan Syekh Muhammad Al-Fadhali.
Berkenaan dengan sosok teman sejawat yang terakhir disebut, Syekh Tsu’ailib Al-Fasyni pernah berwasiat ketika menjelang wafat, “Wahai saudaraku (Muhammad Al-Fadhali), jika nanti aku mati, tolong bacakan shamadiyyah (Surah Al-Ikhlash) untukku sebanyak 100 ribu kali. Dengan syarat, tiap sekali membaca surah harus dengan menggunakan 3 tarikan nafas: bismillahirrahmanirrahim qul huwallahu ahad bernafas, allahushshamad bernafas, lalu lam yalid wa lam yulad wa lam yakun lahu kufuwan ahad bernafas. Begitu seterusnya.”
Manaqib
Syekh Tsu’ailib dikenal sebagai sosok yang senantiasa mengagungkan sunah, cendekiawan, berbudi baik, bijaksana, berwibawa, memiliki ingatan yang kuat, serta dikenal dengan sebutan Syaikh Asy-Syuyukh (Pemuka Para Ulama) dan guru nan agung saking banyaknya orang yang berguru kepada beliau. Selain itu, beliau adalah sosok yang dikenal sebagai ulama yang banyak beramal dengan ilmunya, memiliki keyakinan tinggi, dan bermartabat lagi agung.
Peninggalan Karya
Meski dalam buku-buku sejarah tidak disebutkan sama sekali jikalau Syekh Tsu’ailib Al-Fasyni memiliki karya tulis, namun penulis setidaknya mendapatkan dua manuskrip beliau yang tersimpan di dalam Perpustakaan Al-Azhar. Dua manuskrip itu adalah Istighfarat wa Istighatsat wa Da’awat wa Shalawat dan Risalah fi At-Tajwid.
Kalaulah dikatakan bahwa karya tulis beliau sedikit, akan tetapi jasa beliau sangatlah banyak, terlebih dalam mengabdikan dirinya untuk mengajarkan ilmu agama kepada generasi selanjutnya. Bahkan, nama beliau menjadi salah satu rantai sanad keilmuan Islam yang senantiasa dilalui dalam jalur muridnya, Syekh Burhanuddin As-Saqqa.
Akhir Hayat
Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1236 H sebagaimana yang disebutkan dalam dalam Nuzhah Al-Fikar fi Ma Madha min Al-Hawadits wa Al-‘Ibar. Adapun Syekh Abdussattar Ad-Dihlawi dalam Faidh Al-Malik Al-Wahhab Al-Muta’ali yang kemudian dinukil kembali oleh Syekh Muhammad Abdulhay Al-Kattani dalam Fihris Al-Faharis menyebutkan bahwa Syekh Tsu’ailib Al-Fasyni wafat pada tahun 1239 H. Padahal, Syekh Abdussattar Ad-Dihlawi sendiri menukil kisahnya dari Syekh Ahmad Al-Hadhrawi. Adapun Syekh Abdurrazzaq Al-Bithar dalam Hilyah Al-Basyar mengatakan bahwa Syekh Tsu’ailib wafat pada tahun 1241 H. Untuk riwayat terakhir ini, tidak diketahui dari mana ia bersumber.
Setelah wafat, jasad beliau dimakamkan di Qarafah Mujawirin, Kairo tepatnya berada di belakang Kubah Kurkur Amir Kazal bin Abdullah An-Nashiri, bersampingan dengan makam muridnya, Syekh Burhanuddin As-Saqqa, yang sekarang menjadi pemakaman khusus keluarga As-Saqqa hingga hari ini.