Skip to content

Tidak Ada Rumus KDRT dalam Islam

Warganet dihebohkan kasus kekerasan fisik yang dialami seorang selebgram. Dalam agama Islam, bagaimana sih hukum suami yang memukuli istrinya?

FOTO Ilustrasi keluarga (Unsplash/James X)
FOTO Ilustrasi keluarga (Unsplash/James X)

Belum juga hilang dari ingatan kita kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa seorang artis dangdut terkenal, kini warganet dihebohkan kasus serupa yang dialami salah satu artis Instagram (selebgram) yang bernama Cut Intan Nabila. Dalam kasus yang sangat viral ini, Cut Intan Nabila bahkan disebut mengalami kekerasan fisik dari suaminya yang bernama Armor Toreador itu selama bertahun-tahun. Sebenarnya, bagaimana sih hukum seorang suami yang memukuli istrinya menurut Islam? Benarkah Islam menoleransi seorang suami yang memukul istrinya dengan dalih untuk memberikan peringatan atau pelajaran? Benarkah begitu, untuk lebih jelasnya, mari kita kupas tuntas ihwal KDRT melalui tulisan ini.

Dalam konteks hukum positif, istri yang menjadi korban KDRT memiliki hak perlindungan untuk melaporkan suami yang melakukan KDRT kepada pihak kepolisian. Hal itu diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tepatnya pasal 6 yang menyatakan: "Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat." Kemudian dalam pasal 26 dinyatakan bahwa: (1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. (2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

Dalam Perspektif syariat Islam, tindakan KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam Islam dikategorikan masuk dalam istilah nusyuz (durhaka). Jadi tindakan durhaka (nusyuz) tidak hanya dilakukan seorang istri terhadap suaminya, tapi bisa juga perbuatan suami kepada istrinya. Nusyuz sendiri adalah salah satu perbuatan yang sangat dilarang (haram) dalam agama Islam. Nusyuz" lazimnya memang dipahami sebagai bentuk praktik kedurhakaan istri terhadap suami. Padahal sebenarnya nusyuz juga bisa dilakukan masing-masing pihak. Oleh karenanya kalangan laki-laki perlu mempelajari kembali bentuk-bentuk nusyuz, klasifikasi, kualifikasi dan penanganannya agar tidak mengundang murka Allah. Berikut ini adalah keterangan Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhah Ath-Thalibin wa ‘Umdah Al-Muftin terkait nusyuz yang dilakukan para suami.

اَلْحَالُ الثَّانِي أَنْ يَتَعَدَّى الرَّجُلُ فَيُنْظَرُ. إِنْ مَنَعَهَا حَقًّا كَنَفَقَةٍ أَوْ قَسَمٍ، أَلْزَمَهُ الْحَاكِمُ تَوْفِيَةَ حَقِّهَا. وَلَوْ كَانَ يُسِيْءُ خُلُقٌهٌ وَيُؤْذِيْهَا وَيَضْرِبُهَا بِلَا سَبَبٍ فَفِي التَّتِمَّةِ أَنَّ الْحَاكِمَ يَنِهَاهُ. فَإِنْ عَادَ، عَزَّرَهُ.

Artinya: Bentuk nusyuz (durhaka) kedua ialah di mana pelakunya adalah suami. Nusyuz yang dilakukan suami harus dianalisa terlebih dahulu. Kalau suami tidak menunaikan kewajibannya terhadap istri seperti nafkah atau pembagian giliran (bagi yang poligami), pemerintah dalam hal ini pengadilan berhak menekan suami untuk menunaikan kewajibannya. Kalau suami berperangai buruk terhadap istri, menyakiti istri, dan memukulnya tanpa sebab, pemerintah wajib menghentikan tindakan aniaya suami tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tatimmah. Kalau suami mengulangi, pemerintah wajib menjatuhkan sanksi untuknya.

Tafsir

Kumpulan tulisan bertema tafsir Al-Quran dapat teman-teman baca

di sini

Bahkan Islam sendiri pun telah menyatakan bahwa tindakan kekerasan tanpa hak, seperti memukul, menendang, menampar (dilakukan suami/istri) dalam pandangan Islam tidak bisa dibenarkan sebagaimana ketentuan dalam Al-Quran Surah An-Nisa ayat 34. Akan tetapi ketentuan dalam Surah An-Nisa ayat 34 ini justru kerap disalahpahami sebagai pembenaran bolehnya seorang suami memukul istrinya. Padahal, ayat tersebut menegaskan tahapan tindakan yang dilakukan seorang suami jika istri tidak memenuhi haknya. Tindakan ini dilakukan guna mengarahkan atau mendidik istri agar kembali mematuhi atau memenuhi haknya.

Berikut ini ayat alam Al-Quran terkait KDRT yang kerap disalahpahami:

﴿ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلً ﴾ [سورة النساء: ٣٤]

Artinya, “Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka.” (Surah An-Nisa’ ayat 34).

Dalam ayat di atas terdapat diksi “wadhribuhunna” (dan pukullah mereka) yang kemudian disalahpahami bahwa Al-Quran membolehkan suami memukuli istri, lalu ayat ini pun kerap dijadikan pembenaran terjadinya aksi KDRT yang terus terjadi berulang kali. Padahal, dalam penjelasan ayat di atas ada detail ketentuannya yang harus dipahami secara benar. Di antaranya adalah kalaupun terpaksa harus mengambil tindakan memukul istri, maka hanya boleh dengan pukulan yang sangat ringan dan dalam rangka mendidik. Memukulnya pun seperti memukul dengan siwak atau sikat gigi atau sejenisnya. Kemudian karena tujuan utamanya adalah mendidik istri agar kembali menaati atau memenuhi hak suami, maka selama masih bisa diambil tindakan yang paling ringan, seorang suami tidak boleh mengambil tindakan yang lebih berat. Dalam hal ini Imam Fakhurddin Ar-Razi menegaskan, bagaimanapun mengambil tindakan yang paling ringan sangat perintahkan dalam hal ini, “fat takhfîf mura’â fî hâdzal bab ‘alâ ablaghil wujûh.” (Sulaiman bin Umar Al-Bijirimi, At-Tajrîd linaf’il ‘Abîd, [Turki, Al-Makatabah Al-Islamiyyah], juz III, halaman 422) dan (Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtîh Al-Ghaib, [Beirut, Dârul Kutub ‘Ilmiah: 1421/2000],  juz X halaman 73).

Terkait pembolehan memukul hingga menjadi legal syar’i adalah setelah seorang suami melewati fase tindakan sebelum boleh memukul. Adapun urutan tiga tindakan yang harus dilakukan seorang suami atas istrinya secara berurutan, yaitu (1) menasihatinya secara baik; (2) bila tidak berhasil maka didiamkan dan tidak diajak tidur bersama; dan (3) langkah terakhir baru dengan memukulnya.

Yang perlu juga menjadi catatan, bahwa tujuan utama memukul adalah mendidik istri agar kembali menaati atau memenuhi hak suami. Oleh karenanya, selagi tindakan yang ringan bisa ditempuh agar tujuan itu tercapai, maka tidak boleh mengambil tindakan yang lebih berat. Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Fakhurddin Ar-Razi dalam kitab tafsir Mafatih Al-Ghaib, bahwa bagaimanapun mengambil tindakan yang paling ringan sangat perintahkan dalam hal ini.

Jika pun terpaksa perlu mengambil tindakan memukul, maka hanya dengan boleh pukulan yang sangat ringan dalam rangka mendidik, seperti memukul dengan siwak sikat gigi atau sejenisnya. Memukul yang dimaksud pun bukan dengan pukulan yang mematikan, mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah atau patah tulang, membuat lebam, atau tergolong sangat menyakitkan. Pemukulan juga tidak boleh dilakukan pada wajah dan bagian-bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh memukul di satu bagian tubuh secara berulang-ulang. Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam kitab Jâmi’ Al-Bayân fi Ta’wîl Al-Qur’ân dan keterangan dalam kitab Al-Mausû’ah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Wizaratul Auqâf: 1427], juz XL, halaman, 298-299).

Selanjutnya, tindakan pemukulan tidak boleh apabila dilakukan karena didahului pertikaian antara suami istri. Jika sebelumnya sudah terjadi pertikaian, suami tidak boleh memukul istri meskipun dalam rangka mendidiknya. Jika istri masih membangkang atau tidak memenuhi hak suami, jalan satu-satunya adalah melaporkan kepada hakim, bukan main hakim sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan Syekh Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam kitab Hâsyiyah I’ânah Ath-Thâlibîn. Kemudian ditambahkan, bahwa jika seorang istri hanya akan jera dengan dipukul menggunakan pukulan yang membahayakan, maka suami sama sekali tidak boleh memukul istrinya, baik pukulan yang ringan apalagi yang membahayakan; dengan alasan apa pun. Hal ini sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfah Al-Muhtâj.

Sebagaimana pernah disinggung bahwa yang dikehendaki dari memukul istri yang dimaksud adalah pukulan yang tidak melukai, pukulan yang tidak menyakitkan, pukulan bukan pada anggota vital tubuh istri, dan pukulan bukan di wajah di mana keindahan wanita berpusat di sini. Pemukulan juga dianjurkan tidak memakai tangan atau pecut apalagi benda tumpul atau benda tajam lainnya. Bahkan Imam An-Nawawi menganjurkan pemukulan dilakukan dengan menggunakan sapu tangan sebagaimana disebutkan di kitab Al-Majmu' fi Syarh Al-Muhadzdzab.

Walhasil, Islam tidak pernah menoleransi adanya aksi KDRT, Al-Quran pun sama sekali tidak pernah mendukung aksi kekerasan, apapun bentuk dan dalihnya. Rasulullah SAW sendiri dalam berumah tangganya selalu bersikap baik terhadap istri, anak, cucu, bahkan tetangga beliau. Wallahu A’lamu.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest