Skip to content

Belajar dari Kasus KDRT Lesti-Billar

Meski laporan Lesti atas dugaan KDRT suaminya telah dicabut, darinya kita bisa belajar bagaimana memilih pasangan dan berumah tangga secara ideal.

FOTO Lesti Kejora dan Rizky Billar (Viva)
FOTO Lesti Kejora dan Rizky Billar (Viva)

Terlepas dari dicabutnya laporan Lesti Kejora atas dugaan aksi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan Rizky Billar, kita mestinya bisa belajar banyak dari kasus yang menghebohkan Indonesia tersebut. Pembelajaran yang paling utama adalah bagaimana kita mesti lebih selektif lagi dalam mencari calon pasangan (suami atau istri) yang ideal bagi diri kita. Selain itu kita juga harus memformulasikan ulang bagaimana sebenarnya rumah tangga yang paling ideal menurut agama Islam. Untuk lebih jelasnya, langsung saja mari kita simak upaya paparan sederhana berikut ini.

Figur Pasangan ideal

Usai meruaknya kasus dugaan KDRT yang dilakukan Rizky Billar, satu konklusi sementara masyarakat Indonesia saat ini adalah, “Ganteng saja tidak cukup” serta “Buat apa ganteng kalau hobinya memukuli dan membanting pasangan.” Konklusi ini barangkali masih bersifat stereotip dan sentimentil, tapi kita pun tentu saja tidak bisa mencegah masyarakat Indonesia menyimpulkan demikian. Tersebab Rizky Billar bagi kebanyakan perempuan Indonesia mulanya dianggap figur pemuda ganteng yang sangat ideal untuk dijadikan pasangan hidup. Syahdan cukup banyak perempuan Indonesia yang memimpikan mempunyai pasangan muda yang ganteng, tajir dan ramah seperti Billar. Namun tiba-tiba semua berbalik 180 derajat usai Lesti Kejora melaporkan Rizky Billar atas KDRT dengan beberapa bukti yang sahih dan konon sudah cukup kuat untuk memenjarakan Billar. Para perempuan yang tadinya mengidolakan, memuja-muja, dan memimpikan Rizky Billar berbalik jadi nyinyir, muak, dan merasa amit-amit jangan sampai punya suami yang ringan tangan, temperamen, dan tidak punya hati.

Aturan Toa dan Ujaran Kebencian dalam Islam
Respon terhadap pernyataan Menteri Agama terkait aturan toa sempat riuh. Medsos pun dipenuhi dengan ujaran kebencian yang jauh dari ajaran Islam.

Apakah memang benar suami Lesti seburuk asumsi netizen Indonesia saat ini, agaknya itu bukan menjadi ranah kita untuk menghakimi dan memvonisnya. Itu adalah domain kepolisian dan pengadilan. Cuman sayangnya laporannya keburu dicabut, jadinya konklusi dan asumsi yang berkembang di masyarakat masih sesuai narasi-narasi media infotainment. Belum lagi tidak ada upaya klarifikasi atas tuduhan dan alasan yang menjadi pemicu adanya laporan KDRT tersebut. Sehingga asumsinya pun kian menjadi liar sesuai imajinasi masing-masing kepala dan jari netizen Indonesia.

Nah, daripada mengulik sisi gosipnya, penulis lebih ingin kita mengupas perihal seperti apa sebenarnya figur ideal pasangan hidup menurut Islam?

Dalam Islam, sebagaimana titah Baginda Nabi Muhamad SAW, bahwa kaum laki-laki ketika akan menikahi seorang pasangan (perempuan) itu biasanya karena mereka meninjau hartanya, jalur keturunannya, kecantikannya, atau karena agamanya. Tapi Islam kemudian mewanti-wanti, jatuhkanlah pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah).

Dalam menyifati Hadits tersebut, Kiai Faqih Abdulqadir dalam kitab Manba’ussa’âdah (hal. 18) beliau menjelaskan: “Wa mitslu dzalika bil mubadalah binnisbati ar-rajul lil mar-ati, ‘alaiha an tadhfar bishahibi Ad-din ay shahibi khulukin hasanin, taribat yadaha ay ibta’adat ‘an sayyiatil hayah az-zaujiyah wa iqtarabat bikhairatiha ‘ala mada hayatiha ma’ahu; yakni, “Hadits seperti di atas harus dikaji dengan asas kesetaraan (mubadalah) alias dua arah, di mana, perempuan pun ditekankan supaya memilih lelaki saleh dan berakhlak mulia, sehingga dia akan selamat dari kehidupan rumah tangga yang kelam dan dapat merasakan kenyamanan dalam rumah tangga tersebut bersama pasangannya seumur hidupnya.”

As-Sais, Guru Besar Tafsir nan Fakih
Riwayat hidup guru besar tafsir universitas Al-Azhar. Tak hanya pernah menjabat dekan Usuluddin, ia pun dipercaya mengepalai fakultas Syari’ah.

Islam memang dalam menekankan dan menyuruh kita memprioritaskan perihal kualitas keberagamaan calon pasangan kita itu tanpa pandang bulu. Artinya siapa pun orangnya dan apa pun jenis kelaminnya, ia harus memprioritaskan kriteria keberagamaan calon pasangannya, menyisihkan kriteria harta, keturunan, kecantikan atau kegantengannya.

Bahkan, saking pentingnya kriteria keagamaan, Imam Al-Bukhari (256 H) dalam Shahih Al-Bukhari (hal. 964) sampai menuliskan satu bab tentang kebolehan perempuan ‘menawarkan dirinya’ untuk dinikahi oleh seorang yang kuat keagamaannya (baca—lelaki saleh). Bahkan para orangtua (wali) dianjurkan untuk menawarkan putrinya, tatkala ia melihat seseorang yang saleh (dzawisshalih) tersebut. Begitu juga keterangan-keterangan dalam berbagai literasi fikih muktabarah.

Inilah bukti bahwa dalam memilih pasangan, agama Islam tidak semata hanya fokus menekankan fisik semata, artinya para lelaki diarahkan untuk menikahi perempuan salehah. Pun berlaku sebaliknya, Islam mendorong para perempuan agar mereka memilih lelaki yang saleh sebagai pasangannya. Islam menomorsekiankan kriteria fisik (ganteng atau cantik) setelah kriteria keagamaan dari calon pasangan yang akan dipilih.

Dari sini terbukti sudah bahwa Islam sangat konsen dan menekankan agar para calon pengantin memperhatikan betul kualitas calon pasangannya. Hal ini sebagaimana sebuah Hadits yang dikutip Syekh Ahmad Zainuddin bin Muhammad Al-Ghazali Al-Malibari dalam Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain (hal. 99) yaitu: “Takhayyaru linuthfikum wa-la tadha’uha lighairi al-akfa; Selektiflah dalam memilih “tempat” bagi benih keturunanmu, dan jangan letakkan benih-benih itu di tempat yang tak layak.”

Dalam kitab Al-Bijirimi, terdapat pula pesan serupa dengan redaksi teks yang sedikit berbeda. Yaitu, “Takhayyaruu linuthfikum fa innal ‘irqa dassaasun; selektiflah kalian dalam memilih tempat bagi benih keturunanmu, karena baik dan tidaknya keturunan itu tak akan jauh dari ibu-bapaknya.”

Takarir

Kumpulan ulasan buku dan kitab menarik dapat teman-teman baca

di sini

Rumah Tangga Ideal

Salah satu efek dari pencabutan laporan Lesti atas suaminya adalah Leslar mendapat bejibun nyinyiran dari netizen Indonesia yang maha-kritis. Cukup banyak hujatan, meme, dan video parodi yang targetnya menyasar Leslar. Rata-rata mereka menilai tindakan yang dilakukan Lesti adalah tindakan naif, bodoh, dan langkah “buta” dari seorang budak cinta (bucin). Lantas, bagaimanakah seharusnya rumah tangga yang ideal itu?  

Dalam Islam, sebagaimana dawuh Imam Al-Ghazali yang mengutip Hadits riwayat Abu Amr At-Tawqani dari Aisyah RA dan Asma RA, bahwa nikah itu sebuah ikatan. Hendaklah para orang tua memperhatikan betul pada siapa dia akan “mengikatkan” dan “menitipkan” anak perempuannya.”

Terlebih lagi tabiat perempuan sebagaimana keterangan dalam Hadits dari At-Tirmidzi dikatakan seperti tulang iga (diciptakan keluar dari tulang rusuk kiri laki-laki yang paling bawah) bila kita berusaha meluruskan (dengan sikap keras) dia akan putus dan apabila kita biarkan atau meninggalkannya (tidak mendidiknya) dia akan bengkok selamanya. Jadi secara asas dasar dan secara syariat Islam, kaum perempuan sama sekali tidak dicipta untuk dinikahi supaya bisa dikasari oleh pasangannya.

Wabakdu, ada baiknya kita merenungi anjuran Hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa "Rasulullah SAW bersabda: "Sesempurna-sempurnanya kaum mukminin perihal keimanannya ialah yang terbaik budi pekertinya di antara mereka itu. Dan yang terbaik di antara kaum mukminin itu ialah mereka yang terbaik sifatnya terhadap kaum perempuannya". (Diriwayatkan Imam At-Tirmidzi sebagai Hadits Hasan Shahih).

Imam Al-Ghazali dalam satu maqalahnya juga mengingatkan orang untuk menjaga kehati-hatian dan menyeleksi benar calon menantunya secara proporsional. Jangan sampai menjatuhkan pilihan pada calon menantu yang fasik, ahli kufur, lalim, dan ahli maksiat. Dalam memilih menantu laki-laki, para orang tua dianjurkan memperhatikan kesalehan individual, akhlak, integritas, dan kesalehan sosialnya, sehingga ketika hatinya senang, nanti ia tidak hura-hura melewati batas, pun ketika marah, ia nanti akan tetap memperlakukan istri dan anak-anaknya secara manusiawi, tidak bar-bar, dan anarkis.

Makna Kebebasan Menurut Islam
Kebebasan menurut Islam dapat dicapai melalui dua nilai yang diwariskan Rasul. Syekh Muhammad Al-Khadhir Husain menjabarkannya dalam risalah ini.

Dalam keterangan lain di kitab Al-Ihya, Imam Al-Hasan Al-Bashri mewasiatkan kepada para orang tua untuk menikahkan anak perempuannya pada laki-laki yang bertakwa. “Wa qala rajulun li Al-Hasan Al-Bashri, qad khataba ibnaty jama’atun, faman uzawwijuha? Qala Al-Hasan mimman yattaqi Allaha, fa in ahabbaha akramaha, wa in abghadlaha lam yadhlumha; seseorang bertanya kepada Imam Al-Hasan Al-Bashri, ‘Beberapa pemuda melamar anak perempuanku? Dengan siapa baiknya kunikahkan dia?’ Imam Al-Hasan menjawab, ‘(Nikahkanlah anakmu) dengan pemuda yang bertakwa kepada Allah, tersebab jika kelak suatu saat hatinya sedang senang, maka ia akan menghormati anakmu; dan jika ia sedang marah, maka ia tidak akan menzaliminya.’” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2015 M], juz II, halaman 48).

Begitulah, Islam mensyariatkan para orang tua agar lebih selektif dalam mencari calon menantu tidak lain agar putra-putrinya bahagia. Paling tidak, bila sudah mendapatkan pasangan hidup yang kuat keberagamaannya dan bertakwa, setidaknya harapan untuk melihat kebahagiaan putra-putrinya lebih besar. Sebab Islam secara jelas telah mengarahkan para penganutnya untuk mempergauli pasangannya secara baik, alih-alih dengan cara yang kasar lagi anarkis. Ini sebagaimana firman Allah SWT: “Wa’asyiruu hunna bil ma’ruf; Dan pergaulilah mereka dengan baik.” (Surah An-Nisa: 19).

💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest