Skip to content

Kehidupan Istimewa Para Syuhada’

Dalam literatur fikih, para ulama membagi mati syahid menjadi 3 macam. Al-Quran pun menggambarkan 'kehidupan istimewa' yang didapat para syuhada'.

FOTO Ilustrasi (Unsplash/Mia Mackenzie)
FOTO Ilustrasi (Unsplash/Mia Mackenzie)

Term mati syahid lazimnya kita ketahui hanya dalam perspektif fikih. Yakni mati syahid dilihat sebagai ‘status hukum’-nya semata. Dalam literatur fikih, para ulama membagi tiga macam bentuk mati syahid: antara syahid di dunia, syahid di akhirat, dan syahid di dunia-akhirat. Namun, pertanyaan yang lebih jauh bagaimana dan apa yang diperoleh para syuhada’ setelah kematiannya? Dalam hal ini menarik untuk diulas mengingat keyakinan kita akan mati syahidnya saudara-saudara kita yang menjadi korban dari konflik Israel-Palestina. Dalam tulisan ini, saya mengajak pembaca untuk menelaah lebih jauh bagaimana Al-Quran menggambarkan ‘kehidupan istimewa’ yang didapat orang yang mati syahid.

Di dalam Al-Quran, ayat yang berbicara mengenai para syuhada secara spesifik berada dalam dua surah: Al-Baqarah ayat 154 dan Ali Imran ayat 169. Di dalam kedua ayat itu, Allah secara jelas menafikan “kematian” para syuhada’. Sebaliknya, Al-Quran memberikan penegasan bahwa ada ‘kehidupan istimewa’ yang secara khusus diperuntukkan bagi Syuhada’. Bagaimanakah ‘kehidupan istimewa‘ itu? Mari lebih lanjut kita menyelami tafsir dua ayat tersebut.

Dalam Surah Al-Baqarah Allah berfirman, “Wa lā taqūlū limay yuqtalu fī sabīlillāhi amwāt(un), bal aḥyā'uw wa lākil lā tasy‘urūn(a).” Yang artinya, “Janganlah kamu mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Namun, (sebenarnya mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” Dalam tafsir At-Tahrir wa Tanwir, Imam Ibnu 'Asyur menjelaskan bahwa makna ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya sebagai bentuk kebersinambungan makna dan konteks (khithab). Ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang: status umat Islam sebagai ummatan washatan yang kelak akan menjadi saksi di Hari Kiamat (ayat 142), perintah untuk menghadap ke arah kiblat yang paling mulia (ayat 143), imbauan untuk tidak takut pada orang-orang zalim (ayat 150), nikmat berupa diutusnya Rasul bagi umat Islam (ayat 151). Terakhir, perintah agar umat Islam menjadikan wasilah sabar dan salat sebagai bentuk meminta pertolongan Allah (ayat 153).

Pada ayat 153 di atas, hadirnya perintah sabar dan salat—menurut Ibnu 'Asyur—untuk menyiapkan mental umat Islam bahwa mereka bakal menghadapi kesulitan yang begitu dahsyat berupa peperangan. Dari pada itu, Allah jadikan umat Islam tidak gentar padanya dengan kabar gembira dan keistimewaan mati syahid. Secara historis, pada saat ayat turun umat Islam akan melakukan Perang Badar . Ibnu 'Asyur memungkas “Ketika mereka diperintah untuk bersabar (di ayat sebelumnya), mereka tahu bahwa kematian di jalan Allah merupakan bentuk kesabaran yang terbesar yang akan mereka hadapi. Akan tetapi, setelah itu Allah mengingatkan mereka bahwa rasa sabar itu akan berubah menjadi syukur setelah seorang yang mati syahid tahu karamah yang akan mereka dapatkan setelah mati syahidnya.”

Dalam redaksi ayat “Namun, (sebenarnya mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”, mengisyaratkan bahwa kehidupan yang dimaksud itu adalah bukan kehidupan materiil dan jasmani sebagaimana di dunia, melainkan kehidupan rohaniah. Lebih lanjut menurut Ibnu 'Asyur, kehidupan rohaniah itu menguatkan bahwa sebenarnya saat di dunia, keberadaaan jasmani berikut panca indra itu membatasi ruh untuk merealisasikan dirinya. Namun, saat mereka sudah mati dan ruh berpisah dari jasad, jasad tersebut akan diganti dengan jasad lainnya yang  sesuai dengan kadar kenikmatan lebih tinggi yang akan didapat di surga. Itulah realitas ‘kehidupan istimewa’ yang akan didapat oleh para syuhada’.

Ayat selanjutnya dalam Surah Ali Imran ayat 159, “Wa lā taḥsabannal-lażīna qutilū fī sabīlillāhi amwātā(n), bal aḥyā'un 'inda rabbihim yurzaqūn(a).” Yang artinya, “Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Sebenarnya, mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya.” Masih menurut Ibnu 'Asyur, kata “Qutilu” di dalam ayat tersebut telah mengafirmasi kematian, namun kematian secara zahir saja. Namun di saat yang sama, Al-Quran menafikan hal itu sebagai kematian hakiki dengan kalimat “Bal aḥyā'un 'inda rabbihim yurzaqūn(a).”

Al-Quran

Kumpulan tulisan dengan kata kunci Al-Quran dan cabang ilmunya bisa teman-teman temukan

di sini

Menurut Ibnu 'Asyur, kehidupan para syuhada’ bukanlah kehidupan sebagaimana lazimnya dipahami di dunia dalam arti kehidupan yang ditandai dengan mengalirnya darah di urat nadi dan denyut jantung. Melainkan kehidupan khusus yang Allah berikan berupa terwujudnya kehidupan bagi ruh mereka, seolah ruh memiliki panca indra yang dapat merasakan kenikmatan. Makna kehidupan dalam ayat ini masih sama dengan ayat sebelumnya: kehidupan yang tidak materiil serta istimewa yang berada di sisi Tuhan. Ibnu 'Asyur lebih banyak memaknai pada ayat selanjutnya tentang bagaimana bentuk rezeki dan kegembiraan yang mereka dapatkan.

Kehidupan Rohaniah: Dalam Makna Apa?

Untuk lebih mengerti kehidupan rohaniah, kita perlu merujuk pada bagaimana para sufi memaknainya. Dalam hal ini saya merujuk tafsir Latha'if Al-Isyarat, dimana Imam Al-Qusyairi berkomentar atas ayat pertama (Surah Al-Baqarah ayat 154), “Mereka hidup (setelah mati dalam peperangan) sebab penganti mereka adalah Allah. Karena pada prinsipnya, siapapun yang Allah hadir sebagai penggantinya, ia hakikatnya tidak akan mati.” Isyarat lainnya, “Mereka hidup karena Allah telah mengingat mereka (di dalam ayat tersebut). Segala sesuatu yang diingat oleh Allah dengan sebuah sifat yang baik (madzkur al-haq bil jamil), dengan zikirnya Allah yang kekal, ia tidak akan pernah mati.”

Imam Al-Qusyairi memungkas, “Sekalipun jasad mereka telah tercerai berai (akibat peperangan), ruh-ruh mereka di sisi Allah SWT hakikatnya telah menyatu padu (Mutahaqqiqah). Sekalipun jasad-jasad mereka telah sirna (fana’) di jalan Allah, maka hakikatnya ruh mereka telah abadi (baqa’) dengan Allah. Sebab setiap manusia yang fana’ melalui jalan Allah, maka hakikatnya ia telah baqa’ melalui Allah juga (Man kana fana’uhu billah, kana baqa’uhu billah).

Sedang dalam ayat kedua di Surah Ali Imran, Imam Al-Qusyairi masih berkomentar dengan nada yang sama, “Kehidupan yang dihasilkan bersamaan zikir pada Allah, sekalipun jiwa telah rusak demi mendapatkan rida Allah, itu lebih sempurna dari pada tetap hidup dengan nikmat dari makhluk tetapi terhijab dari Allah”.

Dari segenap rujukan dari tafsir Ibnu 'Asyur yang membantu kita memahami konteks dari ayat, kemudian dari tafsir Imam Al-Qusyairi yang lebih fokus pada makna “kehidupan rohaniah”, saya menarik dua garis besar makna: pertama, status “syahid di dunia dan akhirat” saudara-saudara kita di Palestina bermakna sebuah predikat yang teramat istimewa bagi seorang muslim di tengah pengorbanan dan perjuangannya. Sama seperti pada ayat di dalam Surah Al-Baqarah, mati syahidnya mereka merupakan puncak dari sikap sabar di mana Allah akan mengubahnya menjadi rasa syukur dengan martabat mati syahid. Kedua, jaminan ‘kehidupan istimewa’ yang mereka dapatkan sama sekali tidak dipahami secara sempit pada bayang-bayang nikmat materiil-jasmani belaka. Namun, kehormatan dan kemuliaan mereka justru saat Allah yang ‘hadir’ dalam proses fana’ mereka. Akhirnya mereka justru memperoleh baqa’ di sisi Allah. Kekekalan pada hakikatnya adalah bagaimana seseorang berada dan bersama Allah. Itulah ‘kehidupan istimewa’ yang tak bisa dibayangkan dan tak bisa dinilai oleh apapun di dunia ini. Wallahu a’lam bish-shawab.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest