Skip to content

Dua Alasan Mengapa Hukum Internasional (PBB) Lambat Menangani Kejahatan Perang

Kejahatan perang saat ini sering diperbincangkan, khususnya terkait perang Israel-Palestina. Namun, hingga hari ini PBB masih gagal menanganinya.

FOTO Persatuan Bangsa Bangsa (Unsplash/Mathias Reding)
FOTO Persatuan Bangsa Bangsa (Unsplash/Mathias Reding)

Hukum pidana kejahatan perang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan dan dipersoalkan khalayak, khususnya sejak terjadinya konflik Israel-Palestina beserta segenap pelanggaran, kejahatan yang dilakukan oleh Israel. Kita tahu, dalam sejarah manusia, perang selalu menimbulkan efek yang luas khususnya pada nyawa manusia. Oleh sebab itu, kejahatan dan pelanggaran dalam medan perang merupakan pidana paling serius yang perlu mendapatkan keadilan dan tindak lanjut. Dalam kasus Israel, hingga hari ini jelas kita lihat bahwa PBB masih gagal menghentikannya. Padahal dengan jumlah korban lebih dari dua puluh tujuh ribu korban nyawa berikut pelanggaran-pelanggaran nyata Israel: berupa genosida, pembunuhan warga sipil dan penghancuran ritus-ritus agama, pengusiran secara paksa, sudah jelas tak bisa diterima oleh pihak manapun. Mengapa kemudian hukum internasional PBB masih terus gagal menegakkan keadilan?

Dr. Yasir Ad-Dafrawi dalam tulisannya, “Jara'im Al-Harb Baina Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah wa Al-Qanun Ad-Dawli Al-Insani”, menjelaskan panjang lebar alasan mengapa hukum internasional tetap gagal menegakkan keadilan dan perdamaian dunia, berikut perbandingannya dengan hukum pidana perang dalam Islam. Ia juga melayangkan kritik keras terhadap tumpulnya hukum PBB, standarisasi yang belum jelas, dan penerapan hukum yang tidak komprehensif. Ada dua alasan menurut Dr. Yasir yang membuat PBB lambat menangani Israel:

Pertama, standarisasi hukum yang tidak jelas dan dominasi manuver politik Amerika Serikat. Dalam banyak praktiknya, PBB sebenarnya tidak memiliki standar yang jelas dalam proses menyepakati sebuah hukum dan menegakkannya. Hal itu diperparah dengan bayang-bayang ideologi dan dominasi AS dan sekutu di belakangnya sehingga memengaruhi standar hukum yang menjadi ‘ganda’ dan tidak obyektif. Contoh dalam kasus Israel-Palestina, ketika sebagian besar negara-negara perwakilan yang hadir dalam rapat PBB sudah sepakat untuk mengeluarkan draft “Jeda Kemanusiaan”, seketika gagal karena hak veto AS yang lebih memilih membela Israel. Berikut berbagai rapat resolusi PBB setelahnya masih bernasib sama. Hal inilah yang membuat PBB hingga hari ini tak mampu menyelesaikan konflik peperangan, khususnya pada kasus Israel-Palestina.

Palestina

Kumpulan tulisan yang mengangkat isu dan perjuangan Palestina dapat kalian temukan

di sini

Meskipun kita tahu terdapat dokumen tertulis dalam hukum internasional PBB mengenai larangan-larangan selama peperangan, namun tetap saja kita menemui ‘standar ganda’ dalam sumber manakah yang dirujuk oleh PBB dalam menetapkan sebuah hukum. Dalam hukum internasional, pidana kejahatan perang didefinisikan dengan, “Suatu kejahatan yang dapat dihukum karena melanggar hukum internasional dan dilakukan selama atau pada saat terjadinya peperangan, baik itu merugikan negara atau individu.” Hal itu juga diperkuat dengan dokumen Konvensi Den Haag pada 1899 dan 1907, berikut juga pada dokumen Konvensi Jenewa ke-empat pada 12 Agustus 1949 tentang aturan dalam peperangan.

Dalam konvensi tersebut disebutkan berbagai kategori kejahatan perang, antara lain: pembunuhan berencana, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, pemusnahan massal (genosida) dan penyitaan properti dan perampasan tawanan perang yang disengaja. Berikut upaya mencegah dan berbuat tidak adil pada hak mereka (tawanan perang) secara adil, pengasingan dan penangkapan. Selain itu, termasuk juga kategori serangan secara ilegal pada warga sipil atau harta milik mereka. Sergapan dan serangan yang menyebabkan cedera pada warga sipil dan hilangnya nyawa serta kerusakan pada situs sipil atau apapun. serangan langsung terhadap tempat ibadah atau bangunan untuk pendidikan, lembaga amal, atau monumen bersejarah, rumah sakit, dan tempat berkumpulnya orang-orang yang sakit dan terluka. Namun, semua data dalam dokumen tersebut tak memiliki kekuatan yang objektif dan penerapan yang adil dalam praktiknya.

Kedua, hilangnya konsistensi dalam mematuhi dan menerapkan hukum. Sebagaimana kita tahu, dokumen tidak akan bisa menyelesaikan masalah, tetapi bagaimana kepatuhan dan penerapannyalah yang menjadi kekuatan dari dokumen hukum tersebut. Menurut Dr. Yasir, masalah terbesar dari hukum internasional adalah inkonsistensi para penegak hukum dalam mematuhinya. Inilah masalah terbesar konstitusi PBB dimana dokumen hanya menjadi dokumen, tidak bisa beranjak pada ranah aplikasi dan penerapan.

Jika kita menengok pada syariat Islam, di dalamnya sudah diatur secara jelas falsafah hukum dan standarisasi dalam masalah pidana kejahatan perang. Segala bentuk pelanggaran Israel dalam bentuk genosida, perampasan, blokade terhadap warga sipil Gaza, baik di mata syariat Islam maupun nurani kemanusiaan dunia, jelas telah melebihi batas kejahatan perang dan harus mendapatkan sanksi. Itulah kejahatan perang yang dikenal dalam istilah fikih dengan “Jaraim al-harb” yang perlu kita hentikan bersama. Demikian jika PBB masih terus dibayang-bayangi dua faktor tadi, maka tidak ada harapan untuk masa depan Palestina dan seluruh tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di dunia.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik OPINI atau tulisan menarik Lukman Hakim Rohim

Latest