Skip to content

Kenapa Harus Memaafkan di Momen Lebaran

Setiap Syawal, acara Halal bi Halal rutin digelar dan menjadi ajang silaturahmi serta momen bermaaf-maafan. Sebenarnya apa itu halal bi halal?

FOTO Halal bi halal (Djaenudin/Wikimedia Commons)
FOTO Halal bi halal (Djaenudin/Wikimedia Commons)

Begitu memasuki bulan Syawal, acara silaturahmi dan momen bermaaf-maafan dalam bingkai Halal bi Halal menjadi ajang rutinan. Seolah tiada berhenti, ajang saling bermaaf-maafan itu pun saling sambung bersambung dimulai semenjak hari pertama Idul Fitri. Bahkan, tidak jarang di luar bulan Syawal pun masih bisa dijumpai acara Halal bi halal.

Sebenarnya, apa itu halal bi halal? Kenapa halal bi halal menjadi sangat penting dan dilaksanakan begitu banyak orang begitu gema takbir berkumandang?

Secara pengertian, makna halal bi halal tidak dapat diartikan secara harfiah dan satu persatu dari kata halal, bi, dan halal. Karena itu tidak akan bisa menemukan arti yang semestinya. Sementara secara istilah, halal bi halal bisa kita urai dari kata halal yang berasal dari bahasa Arab yaitu halla, yang memiliki tiga makna yakni halla al-habi (benang kusut terurai kembali), halla al-maa (air keruh diendapkan), dan halla as-syai (halal sesuatu).

Dari ketiga uraian makna tersebut, dapat ditarik konklusi makna dari halal bi halal adalah kekusutan, kekeruhan atau kesalahan yang selama ini dapat dihalalkan kembali. Artinya, semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali sedia kala.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bi halal memiliki arti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang.

Secara sederhana, halal bi halal bisa diartikan silaturahim atau silaturahmi. Yaitu memiliki makna silah (hubungan) dan rahim/rahmah (kasih sayang). Secara arti kultural, kita kerap mendengar bila halal bi halal adalah istilah lokal Indonesia yang dipopulerkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah tatkala memberikan saran kepada Presiden Sukarno sebagai wahana untuk membentuk acara silaturahim antar pemimpin politik. Peristiwa itu terjadi terjadi pada 1948, tatkala Presiden Sukarno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara dalam rangka silaturahim yang diberi tema “Halal bi halal.” Para tokoh politik itu duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan satu sama lain. Maka sejak momen itulah berbagai instansi pemerintahan mengikuti menyelenggarakan halal bi halal begitu Syawal tiba. Acara halal bi halal kemudian populer dan meluas dipakai seluruh masyarakat Indonesia sampai sekarang.

Dari pengertian tersebut, timbul pertanyaan, haruskah kita saling memaafkan di setiap momen lebaran tiba. Sebagaimana tuntutan pengertian halal bi halal menurut kamus Jawa-Belanda karya Pigeaud tahun 1938, bahwa halal bi halal berasal dari dua kata kata halal behalal, yang memiliki arti salam (datang, pergi) untuk memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (lebaran, tahun baru Jawa).

Biografi

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Dalam menjawab pertanyaan di atas, kita bisa menarik spirit dan esensi dari istilah Halal bi halal yang konon digaungkan oleh KH. Wahab Hasbullah tersebut. Yakni di sana ada spirit “thalabu halal li thariqi halal”. Maksudnya, di sana ada spirit menyelesaikan masalah dalam sebuah bingkai keharmonisan dengan cara mengampuni sebuah kesalahan. Dalam praksisnya, Halal bi halal menjadi sebuah konten pemersatu lewat agenda silaturrahim dan agenda saling memaafkan dosa atau kesalahan. Di mana hakikatnya adalah adanya kelapangan dada untuk melepas rasa kecewa, luka di dada atau sakit di hati, kemudian menciptakan suasana kondusif, membangun sesuatu yang baik bagi sesama manusia.

Dari perspektif Qurani, Halal (bi halal) itu menuntut halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Al-Quran menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi bahkan menuntut seseorang berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya. Dari sini, bisa ditarik konklusi bahwa halal bi halal menuntut pelaku yang terlibat di dalamnya agar saling memaafkan, saling menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan atas sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan.

Lebih dari itu, Allah bahkan berjanji akan mencurahkan rahmat-Nya kepada seseorang yang jantan mau mengaku salah dan meminta maaf akan kesalahannya itu. Rasulullah bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا كَانَتْ لِأَخِيهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ فِي عِرْضٍ أَوْ مَالٍ فَجَاءَهُ فَاسْتَحَلَّهُ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ

Artinya: Allah merahmati seorang hamba yang pernah berbuat zalim terhadap harta dan kehormatan saudaranya, lalu ia mau datang kepada saudara yang dizaliminya itu untuk minta kehalalannya sebelum ajal menjemput. (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Setiap manusia pasti punya salah dan pernah berbuat khilaf. Setiap orang hampir pasti pernah berbuat dosa dan maksiat. Bahlan Rasulullah sendiri menyatakan demikian. Bahwa semua bani Adam adalah khattha’un; banyak berbuat dosa dan maksiat. Dan sebaik-baik khattha’un adalah at-tawwabun, yaitu orang yang banyak bertobat. Ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ibnu Majah dari Anas bin Malik RA. Bahkan Allah sendiri di dalam Al-Quran pun berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang banyak bertobat.”

Maka, bukan suatu aib dan cela bila kita mengaku salah dan meminta maaf. Bukan merendahkan diri bila kita mengaku khilaf pada sesama. Bahkan semua itu akan mendatangkan curahan rahmat Allah pada diri ini. Bahkan semua itu akan melahirkan cinta-Nya kepada kita.

Wabakdu, semoga kita semua termasuk golongan orang-orang yang kembali (fitrah) dan termasuk golongan orang-orang yang berbahagia.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik ISLAMUNA atau tulisan menarik Ahmad Muhakam Zein

Latest