Skip to content

Syekh Abdulwahhab Ghuzlan, Alim Tafsir dari Universitas Al-Azhar

Ulama besar di Al-Azhar yang 2 murid didikannya menjadi Imam Akbar. Ialah Syekh Abdulwahhab Ghuzlan. Sosok alim tafsir dari Universitas Al-Azhar.

FOTO Sampul buku Syekh Abdulwahhab Ghuzlan yang sedianya diterbitkan Majlis Hukama Al-Muslimin.
FOTO Sampul buku Syekh Abdulwahhab Ghuzlan yang sedianya diterbitkan Majlis Hukama Al-Muslimin.

Ini adalah biografi sosok alim tafsir yang karyanya senantiasa masyhur hingga detik ini. Kitabnya, Al-Bayan fi Mabahits min ‘Ulum Al-Quran, adalah satu-satunya karya tulis yang sampai kepada generasi hari ini. Menjadi sebuah diktat mata kuliah ‘Ulumul-Quran bagi mahasiswa tahun pertama di kampus Usuludin, Universitas Al-Azhar. Salah satu muridnya, Prof. Dr. Ahmad Ath-Thayyib, menjadi Imam Akbar Al-Azhar saat ini. Begitupun Syekh Muhammad Sayyid Thanthawi, Imam Akbar sebelumnya. Dua sosok murid ini sekiranya sudah cukup untuk menggambarkan sosok yang ingin kita tulis ini.

Namun, meski karya dan para muridnya begitu masyhur, tidak demikian halnya dengan sosok ini. Atau sebenarnya ia masyhur, namun kisah hidupnya sangat minim ditemukan di dalam buku-buku sejarah Al-Azhar. Sebagaimana banyak ditemukan hal serupa dalam kisah para ulama terdahulu. Dalam pencarian biografinya, sumber pustaka dan referensi yang ada hanya menyediakan sebatas biodata ringkas. Karena itu, meski minim informasi, sosok alim ini mesti diperkenalkan kepada khalayak, khususnya kepada para civitas akademika Al-Azhar Asy-Syarif.

Nama dan Nisbah

Dalam banyak sumber, sosok ini bernama Abdulwahhab Abdulmajid Ghuzlan. Adapun Syekh Usamah Al-Azhari menambahkan As-Sayyid setelah Abdulmajid dalam Jamharah A’lam Al-Azhar Asy-Syarif, yakni Abdulwahhab Abdulmajid As-Sayyid Ghuzlan. Syekh Usamah menukil dari sejumlah sumber yang belum bisa penulis tilik langsung.

Namun yang jelas, dari nama ini belum diketahui, apakah namanya terdiri dari satu kata atau lebih. Jika melihat tradisi kebanyakan masyarakat Arab, mereka biasanya menamai anak mereka dengan satu kata. Maka bisa saja disimpulkan bahwa ia adalah Abdulwahhab bin Abdulmajid bin As-Sayyid. Adapun Ghuzlan di akhir namanya, merujuk kepada sebuah keluarga bermarga Ghuzlan, salah satu marga Mesir lama yang terus dilakabi kepada keluarga ini.

Masa Belajar

Dalam sedikitnya sumber dan referensi yang ada, tidak disebutkan kapan dan di mana Syekh Abdulwahhab Ghuzlan dilahirkan. Begitupun jenjang pendidikannya. Sejauh ini, penulis mendapati jenjang pendidikannya di Ats-Tsanawi dari autobiografi sahabat karibnya, Syekh Ahmad As-Sayyid Al-Kumi kala diwawancarai oleh redaksi Majalah Al-Azhar pada edisi Rabiulawal 1410 H (Oktober 1989 M). Dalam wawancara itu, Al-Kumi menyebutkan kawan-kawan sekelasnya, yaitu Syekh Abdulwahhab Ghuzlan, Syekh Ibrahim Adh-Dhabba’, Syekh Abduljalil Syalabi, Syekh Mahmud Ziyadah, Syekh Abdulwahhab Al-Buhairi, Syekh As-Sayyid Al-Hakim, Syekh Jad Muhammad Ramadan, dan Syekh Muhammad Abu Zahwu.

Berkat wawancara itu, kita dapat mengetahui bahwa Syekh Abdulwahhab Ghuzlan tamat jenjang Ats-Tsanawi di Ma’had Al-Azhar Al-Iskandariyyah pada tahun 1931 M. Karena sahabatnya, Al-Kumi tamat di tahun dan tempat yang sama. Dari sini kita juga bisa mengetahui besar kemungkinan Syekh Abdulwahhab Ghuzlan masuk jenjang Al-Ibtidai pada tahun 1923 M, tamat Al-Ibtidai tahun 1927 M, lalu tamat Ats-Tsanawi tahun 1931 M sebagaimana Al-Kumi, mengingat jenjang pendidikan Al-Ibtidai dan Ats-Tsanawi sesuai qanun Al-Azhar saat itu masing-masing selama 4 tahun.

Jika benar ia memasuki jenjang Al-Ibtidai pada tahun 1923 M, maka bisa disimpulkan ia lahir pada 10 tahun pertama abad 20 M (1901-1910 M), karena usia minimum masuk ma’had Al-Azhar kala itu adalah 12 tahun, tentu saja dengan tidak menutup kemungkinan lainnya. Terakhir, kita juga dapat menyimpulkan bahwa ia tinggal di daerah sekitaran Al-Iskandariyyah, mengingat ma’had Al-Azhar selain Kairo yang baru ada ketika itu hanyalah di Al-Iskandariyyah, Thantha, Dusuq, dan Dumyath. Dengan susahnya transportasi kala itu, sangat kecil kemungkinan ia tinggal jauh dari wilayah sekitaran Al-Iskandariyyah.

Syekh Abdulwahhab Ghuzlan tamat dari bangku perkuliahan Strata 1 di Fakultas Usuludin Universitas Al-Azhar pada tahun 1935 M sesuai data dalam buku Taqwim Jami’ah Al-Azhar fi Arba’ Sanawat. Artinya, sangat pas jika ia menamatkan jenjang Ats-Tsanawi pada tahun 1931 M, karena jenjang Strata 1 ditempuh selama 4 tahun.

Dalam buku yang sama, penulis juga menemukan beberapa nama sahabatnya yang tamat di fakultas dan tahun yang sama, yaitu Syekh Sayyid Ahmad Al-Musayyar, Syekh Muhammad Muhammad As-Samahi, Syekh Syakir ‘Athiyyah, dan Syekh As-Sayyid Al-Hakim.

Setelah rampung, ia melanjutkan jenjang pendidikannya di Qism At-Takhashshush (Dirasat Ulya). Kala itu, pembelajaran di Dirasat Ulya (pascasarjana) tidak seperti jenjang Universitas Al-Azhar pada hari ini yang melalui jenjang tamhidi selama dua tahun, lalu menulis tesis (S2), kemudian melanjutkan jenjang doktoral dan menulis disertasi (S3). Kala itu, pascasarjana layaknya jenjang tamhidi selama 4 tahun, lalu diakhiri dengan imtihan seluruh diktat di tahun terakhir untuk kelayakan menulis di jenjang doktoral.

Masih dalam buku Taqwim Jami’ah Al-Azhar fi Arba’ Sanawat, Syekh Abdulwahhab Ghuzlan disebutkan tamat S3 doktoral pada tahun 1942 M di Fakultas Usuludin. Artinya jika ia tamat S1 pada tahun 1935 M, maka ia kurang lebih menempuh jenjang ini selama 6 hingga 7 tahun, dengan asumsi bahwa ia menempuh tamhidi selama 4 tahun, lalu menulis disertasi selama 2 tahun lebih. Meski yang disayangkan, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan judul disertasi yang ia ajukan beserta nama dosen pembimbingnya. Bahkan, disertasi itu tidak dijumpai di Pepustakaan Pusat Universitas Al-Azhar, begitupun di Perpustakaan Fakultas Usuludin.

Masa Pengabdian

Usai tamat dari jenjang doktoral, tidak diketahui apa yang dikerjakan oleh Syekh Abdulwahhab Ghuzlan. Namun, jika berkaca kepada teman-teman sejawatnya saat itu, mereka akan dilantik sebagai pengajar di ma’had-ma’had Al-Azhar terlebih dahulu selepas meraih gelar doktor. Setelah itu baru dipindah-tugaskan ke kampus Universitas Al-Azhar sebagai dosen.

Hal ini juga terbukti tatkala penulis melihat pelantikan Syekh Abdulwahhab Ghuzlan baru terjadi pada 24 Maret 1951 M, sesuai dengan ketetapan Al-Majlis Al-A’la li Al-Azhar. Artinya, dalam rentang wakut 1942-1951 M, boleh jadi ia mengabdi di sejumlah ma’had Al-Azhar.

Biografi

Sepilihan riwayat hidup para tokoh dapat teman-teman temukan

di sini

Dalam pelantikan itu, terdapat sejumlah tokoh Al-Azhar lainnya yang turut dilantik bersamanya, seperti Syekh Muhammad Abdurrahman Bishar (kelak menjadi Syekhul-Azhar), Syekh Muhammad Abu Ar-Rus, Syekh Sulaiman Dunya, Syekh Muhammad As-Samahi, Syekh Hamudah Gharabah, dan Syekh Muhammad Abu Syahbah.

Tidak diketahui pasti kapan ia menjadi profesor atau guru besar di kampus Usuludin. Kabar mengenai ini hanya dapat penulis telusuri melalui tesis magister talib asal Filipina, Yusuf Lukman Madayao pada tahun 1967 M berjudul Himayah Al-Islam li Al-Ansab fi Dhaui Al-Kitab wa As-Sunnah. Pada sampul awal disebutkan, bahwa Syekh Abdulwahhab Ghuzlan, pembimbingnya, menjabat Guru Besar Jurusan Tafsir dan Hadits (dulu 2 jurusan ini masih digabung, belum dipisah). Karena sudah makruf, gelar akademis pembimbing haruslah ditulis sesuai dengan gelar termutakhir saat itu. Meski tetap saja, tidak diketahui sejak kapan persisnya ia menjabat guru besar.

Selanjutnya, kabar mengenai Syekh Abdulwahhab Ghuzlan penulis temukan dalam disertasi doktoral Hasan Dhiyauddin ‘Itr (saudara kandung Syekh Nuruddin ‘Itr) berjudul Nubuwwah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam fi Al-Quran pada tahun 1971 M. Di sampul awal, gelar Syekh Abdulwahhab Ghuzlan sudah berubah. Jika pada tesis talib Filipina di awal masih menjabat Guru Besar Jurusan Tafsir dan Hadits, pada tahun ini menjabat Kepala Jurusan Tafsir (Rais Qism At-Tafsir).

Sejauh ini, tesis dan disertasi yang dibimbing oleh Syekh Abdulwahhab Ghuzlan yang tersimpan di Pepustakaan Pusat Universitas Al-Azhar, begitupun Perpustakaan Fakultas Usuludin hanyalah 2 risalah ini. Kalau saja terdapat risalah lain yang turut terjaga, kita akan dapatkan kepingan perjalanan hidup lainnya.

Akhir Hayat

Mengenai akhir hayat Syekh Abdulwahhab Ghuzlan, tidak ada satupun sumber dan referensi yang mampu menyebutkan tahun kewafatannya secara pasti. Syekh Usamah Al-Azhari, dalam Jamharah A’lam Al-Azhar Asy-Syarif hanya mampu berkata “Aku mengira beliau wafat pada tahun ini (1972 M)”, berlandaskan kabar terakhir yang didapat dari buku Taqwim Jami’ah Al-Azhar fi Arba’ Sanawat.

Namun, setelah beberapa penelusuran, penulis menemukan bahwa pada tahun ini ia belumlah wafat. Hal ini berlandaskan penuturan muridnya, Hasan Dhiyauddin ‘Itr dalam disertasinya (1971 M) yang kemudian dicetak pada tahun 1973 M di Dar An-Nashr, Suriah. Dalam mukadimah terbitan itu, ia menuturkan rasa syukurnya kepada sang guru sembari menyebut namanya, lalu mengakhirinya dengan “hafizhahullah ta’ala”. Dalam khazanah keislaman, sangat makruf bahwa kalimat terakhir itu menandakan bahwa sosok yang didoakan itu masih hidup di dunia ini.

Kemudian, kembali ke wawancara Syekh Ahmad As-Sayyid Al-Kumi di Majalah Al-Azhar pada tahun 1989 M. Tatkala menyebutkan nama teman-temannya di jenjang Ats-Tsanawi, ia menyebutkan nama Syekh Abdulwahhab Ghuzlan dengan tambahan “rahimahullah”, yang berarti ia telah wafat pada saat itu. Dari sini, setidaknya dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdulwahhab Ghuzlan wafat antara tahun 1973 M hingga 1989 M. Semoga rangkaian kisah hidupnya dapat terus dilengkapi. Apalagi jika mampu mengetahui kabar dari anak-cucunya, tentu banyak kisah hidupnya yang dapat diabadikan.

Sepeninggalya, ia mewariskan sebuah karya tulis (hanya ini yang diketahui) berjudul Al-Bayan fi Mabahits min ‘Ulum Al-Quran. Buah karya seputar ilmu Al-Quran yang terus diajarkan dari generasi ke generasi hingga hari ini di kampus Al-Azhar, Mesir. Pada Pameran Buku Internasional Kairo (PBIK) Ke-55 kemarin (24 Januari-6 Februari 2024 M), disiarkan kabar bahwa karya ini akan dijual di stan Majlis Hukama Al-Muslimin. Ini tentulah kabar bahagia, karena sebelum datang kesempatan ini, karya Syekh Abdulwahhab Ghuzlan diterbitkan seadanya, tanpa adanya perhatian penuh dan layak dalam menerbitkan karya ulama. Hanya saja, entah karena uzur apa, karya itu belum dijual hingga hari terakhir pameran. Semoga karya ini bisa dibeli pada PBIK tahun depan. Dan semoga Allah menempatkan Syekh Abdulwahhab Ghuzlan dengan sebaik-baik tempat. Amin.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BIOGRAFI atau tulisan menarik Amirul Mukminin

Latest