Skip to content

Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Pelopor Diskursus Tafsir di Era Kontemporer

Sebuah biografi ulama Al-Azhar yang pernah menjabat wazir. Ialah Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi, alim nan cemerlang, ahli tafsir yang syahid.

FOTO Papan makam Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi (Dok. Penulis)
FOTO Papan makam Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi (Dok. Penulis)

Melihat perkembangan diskursus fan ilmu Al-Quran dan tafsir pada hari ini, khususnya dalam lahirnya banyak cabang kurikulum ilmu tersebut, semua itu tak terlepas dari peran Syekh Muhammad Husain Adz-Dzahabi yang turut andil dalam memelopori hal tersebut. Seorang wazir didikan Al-Azhar yang bernama lengkap Muhammad bin As-Sayyid bin Husain bin Ahmad Adz-Dzahabi Al-Hanafi Al-Azhari.

Nisbah Adz-Dzahabi adalah nisbah yang melekat pada nama keluarga besarnya. Adapun Al-Hanafi adalah nisbah kepada mazhab fikih yang ia ikuti. Sedangkan Al-Azhari, ialah nisbah kepada Al-Azhar tempat ia menuntut ilmu dan mengabdi hingga akhir hayat.

Ia dilahirkan pada tanggal 9 Zulhijah 1333 H (19 Oktober 1915 M), di sebuah desa pinggiran timur utara Sungai Nil bernama Mathubas, Markaz Fuwah, Provinsi Al-Gharbiyyah, Mesir. Data yang tepat mengenai asal desa hingga provinsi ini penulis dapatkan langsung dalam Syahadah Al-‘Aliyah dan Syahadah Al-‘Alimiyyah miliknya. Adapun sekarang, desa ini secara administratif menjadi desa sekaligus markaz di Provinsi Kafr Asy-Syaikh, Mesir. Data yang terakhir inilah yang justru banyak dituliskan oleh para sejarawan, alih-alih menyebutkannya sesuai dengan masa pada saat itu.

Ia bertumbuh-besar dalam sebuah keluarga yang rata-rata bekerja sebagai petani dan pedagang. Sedari kecil, Adz-Dzahabi telah ditinggal mati oleh sang ayah. Ia kemudian diasuh oleh saudara kandungnya yang bernama Husain. Saudara sulung yang menjadi tulang punggung keluarga itu menjaga sang adik dengan baik. Ia memasukkannya ke sebuah kuttab desa untuk belajar baca-tulis, menghafal Al-Quran, dan mempelajari ilmu-ilmu dasar. Setelah menamatkan pembelajaran di desa dan telah hafal Al-Quran, Adz-Dzahabi muda masuk ke Ma’had Al-Azhar Dusuq. Dari sana, ia pindah ke Ma’had Al-Azhar Al-Iskandariyyah hingga jenjang Ats-Tsanawiyyah.

Masa Belajar

Dalam buku-buku sejarah, tidak disebutkan kapan Adz-Dzahabi menyelesaikan pendidikan Ats-Tsanawiyyah. Yang jelas, ketika tiba di Kairo, ia melanjutkan jenjang belajarnya di bangku kuliah Universitas Al-Azhar modern yang baru dibuka pada 1931 M. Di sinilah, ia masuk ke Fakultas Syariah dan tamat pada tahun 1939 M. Adapun dalam buku Al-Majma’iyyun, disebutkan bahwa ia selesai pada tahun 1936 M, merujuk kepada sejumlah sejarawan kontemporer dalam buku mereka. Namun, hal ini tidak benar. Yang benar adalah sebagaimana disebut dalam buku Al-Azhar Asy-Syarif fi ‘Idihi Al-Alfi. Di sana disebutkan secara gamblang daftar nama-nama mahasiswa Universitas Al-Azhar berprestasi yang mendapatkan peringkat satu di angkatannya. Nama Adz-Dzahabi tertulis dengan jelas sebagai peraih ranking satu pada tahun ajaran 1938/1939 M. Prestasi ranking satu yang ia raih juga dibuktikan dengan kecerdasan dan kepiawaiannya selama masa belajar. Selain Al-Azhar Asy-Syarif fi ‘Idihi Al-Alfi, hal ini juga dikuatkan langsung oleh tarikh yang tertulis di dalam Syahadah Al-‘Aliyah (S1) milik Adz-Dzahabi sendiri. Bahkan, dalam syahadah itu juga disebutkan bahwa ia mendapat peringkat satu dari 112 mahasiswa Fakultas Syariah pada saat itu.

Jika dilihat dari urutan alumni pertama yang tamat pada tahun 1934 M, artinya ia adalah alumni Universitas Al-Azhar angkatan keenam sejak dibukanya perkuliahan modern. Begitupun jika dilihat dari tahun tamatnya, maka kuat kemungkinan bahwa Adz-Dzahabi pergi ke Kairo pada kisaran tahun 1934/1935 M. Karena, sistem pendidikan kuliah saat itu—bahkan hingga kini—ditempuh selama empat tahun masa belajar, kecuali di beberapa kuliah saja.

Setelah rampung, ia melanjutkan pendidikannya di Qism At-Takhashshush (Dirasat Ulya) jurusan ‘Ulumul-Quran. Kala itu, pembelajaran di Dirasat Ulya (pascasarjana) tidak seperti hari ini yang melalui jenjang tamhidi selama dua tahun, lalu menulis tesis, kemudian melanjutkan jenjang doktoral dan menulis disertasi. Kala itu, pascasarjana layaknya jenjang tamhidi selama 5 tahun, lalu pelaksanaan imtihan seluruh diktat di tahun terakhir untuk kelayakan menulis di jenjang doktoral.

Setelah menyelesaikan pembelajaran selama 5 tahun, ia mengajukan disertasi berjudul At-Tafsir wa Al-Mufassirun, sebuah kitab yang menjadi acuan dalam cikal-bakal kodifikasi Metodologi Tafsir. Disertasi ini diujikan pada tahun 1365 H (1946 M). Artinya, jika Adz-Dzahabi mendapat gelar doktor pada tahun itu, maka ia kurang-lebih menulis disertasinya selama 2 tahun. Ini adalah waktu yang terbilang singkat jika berkaca pada capaian akademis yang ia tulis di dalam disertasi tersebut.

Tafsir

Kumpulan tulisan bertema tafsir Al-Quran dapat teman-teman baca

di sini

Mengenai para guru, ia belajar kepada para pembesar ulama Al-Azhar pada saat itu, seperti Syekhul-Azhar Muhammad Mushthafa Al-Maraghi, Syekhul-Azhar Muhammad Mamun Asy-Syinnawi, Syekhul-Azhar Muhammad Al-Khadhir Husain, Syekh Isa Mannun, Syekh Muhammad Zahid Al-Kautsari, dan Syekh Muhammad Habibullah Asy-Syinqithi. Nama-nama besar yang sudah tidak diragukan lagi kepakarannya dalam dunia intelektual. Hanya saja, penulis belum mendapatkan sumber mengenai sosok yang menjadi penyelia disertasi dan para pengujinya. Karena data ini mesti langsung dilihat di dalam naskah disertasi aslinya, mengingat nama penyelia dan penguji tidak tertera dalam buku At-Tafsir wa Al-Mufassirun yang tersebar secara luas pada hari ini.

Masa Pengabdian

Karir Adz-Dzahabi telah dimulai sejak ia berada di jenjang Dirasat Ulya. Sembari kuliah, ia juga berprofesi sebagai imam di bawah Kementerian Wakaf Mesir. Selanjutnya, setelah menyelesaikan jenjang doktoral, ia dilantik sebagai pengajar di Ma’had Al-Azhar Kairo di tahun yang sama.

Setelah setahun mengajar, ia dipilih sebagai duta Al-Azhar di Arab Saudi bersama sejumlah ulama Al-Azhar lainnya. Di negara ini, ia mengajar di Madrasah Dar At-Tauhid, Kota Thaif hingga tahun 1370 H (1951 M), karena ia dipindah-tugaskan ke Madinah Al-Munawwarah selama setahun. Setelah masa khidmah berlalu, ia kembali ke Kairo, Mesir pada tahun 1371 H (1952 M) di tempat di mana ia dulu mengajar. Beberapa tahun setelahnya, jenjang karirnya pun naik. Ia dilantik menjadi pengajar di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar pada tahun 1374 H (1955 M).

Ia juga pernah menjadi dosen terbang di Universitas Baghdad, Irak selama 2 kali: di Fakultas Hukum pada tahun 1374 H (1955 M) dan Fakultas Syariah pada tahun 1380 H (1962 M). Pada fakultas terakhir, ia menjadi Ketua Prodi Ilmu Syariah. Selain Arab Saudi dan Irak, ia juga pernah menjadi dosen terbang di Kuwait selama 3 tahun, dari tahun 1387 H (1968 M) hingga 1390 H (1971 M). Di sini, ia diminta mengajar Universitas Kuwait pada Jurusan Tafsir dan Hadits. Setelah kepulangannya dari Kuwait, ia kemudian dilantik sebagai guru besar di Fakultas Usuludin Universitas Al-Azhar.

Pada 13 Zulhijah 1391 H (29 Januari 1972 M), ia dilantik sebagai Wasekjen Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah (Akademi Riset Islam) di Al-Azhar, lalu menjadi Dekan Fakultas Usuludin tak lama setelahnya, yakni pada 14 Syakban 1392 H (22 september 1972 M), menggantikan Syekh ‘Awadhullah Jad Hijazi.

Dua tahun sejak menduduki kursi dekan, Adz-Dzahabi dilantik menjadi Sekjen Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah pada 10 Jumadilawal 1394 H (1 Juni 1974 M) menggantikan Syekh Muhammad Abdurrahman Bishar. Ia tidak lama menjabat sekjen, karena pada 3 Rabiulakhir 1395 H (15 April 1975 M), ia dilantik sebagai Menteri Wakaf Mesir, meski ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut pada bulan Zulkaidah 1396 H (November 1976 M) karena berbagai hal seputar politik. Bahkan, di akhir jabatan, ia pernah berkata, “Aku tidak melakukan apapun selama di kementerian. Lebih baik aku kembali ke kuliah sebagai pengajar jika tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar.”

Karya Tulis

Adz-Dzahabi telah melalui banyak hal dalam karier kehidupan. Ia pernah menjadi imam, pengajar, hingga menteri. Namun, di sela-sela kesibukan yang tiada henti tersebut, ia masih menyempatkan diri untuk menulis di berbagai majalah, seperti Majalah Al-Azhar, Majalah Al-Wa’yu Al-Islami, Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, Majalah At-Tauhid, Majalah At-Tadhamun Al-Islami, dan Majalah Al-Ba’ts Al-Islami.

Selain menulis di berbagai majalah, ia juga menulis sejumlah buku, seperti:

  • At-Tafsir wa Al-Mufassirun (risalah doktoral);
  • Ilm At-Tafsir;
  • Al-Ittijah Al-Munharifah fi Tafsir Al-Quran Al-Karim Dawafi’uha wa Daf’uha;
  • Al-Israiliyyat fi At-Tafsir wa Al-Hadits;
  • Atsar Iqamah Al-Hudud fi Istiqrar Al-Mujtama’;
  • Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah Dirasah Muqaranah baina Madzahib Ahli As-Sunnah wa Asy-Syi’ah;
  • Al-Wahyu wa Al-Quran Al-Karim;
  • Ibnu ‘Arabi wa Tafsir Al-Quran wa Haqiqah At-Tafsir Al-Mansub Ilaih;
  • Al-Islam wa Ahlu Adz-Dzimmah; dan
  • Salah satu tim penulis At-Tafsir Al-Wasith terbitan Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah.

Akhir Hayat

Adz-Dzahabi menutup usia sebagai seorang syahid pada 20 Rajab 1397 H (7 Juli 1977 M) setelah sehari sebelumnya diculik oleh jamaah takfir yang masyhur di Mesir sampai hari ini, lalu dibunuh. Insiden ini, salah satunya, berawal dari tulisan dan pernyataan Adz-Dzahabi dalam banyak media mengenai bahaya takfir dan memahami Islam tidak dengan jalur yang semestinya. Ditambah dengan gorengan berbagai media yang membuat situasi semakin memanas, hingga berakhir pada penculikan dan pembunuhan tragis alim besar Al-Azhar ini.

Jasadnya kemudian disalatkan di Masjid Al-Azhar, tempat di mana ia belajar dan mengabdikan diri hingga akhir hayat. Setelah itu, jasad sang syahid dibawa ke Qarafah Shughra, tak jauh dari kompleks pemakaman Imam Asy-Syafi’i di Kairo.

Pasca wafat, sosoknya dianugerahi Medali Nasional Bintang Satu sebanyak dua kali: pertama pada September 1977 M dan kedua pada Februari 1990 M. Medali Nasional sendiri adalah medali tertinggi yang dianugerahi Negara Mesir kepada tokoh yang meraihnya. Sosok ini juga memperoleh Medali Ilmu Pengetahuan dan Seni Bintang Satu pada Peringatan Hari Lahir Al-Azhar tahun 1983 M.

Semoga Allah senantiasa merahmati ahli ilmu, pewaris hakiki para nabi, yang telah menjaga warisan ilmu dari generasi ke generasi. Amin.


💡
Baca juga artikel lain di rubrik BIOGRAFI atau tulisan menarik Amirul Mukminin

Latest